Mamanda dan Modernitas Kebudayaan

 

John Naisbitt dan Patricia Aburdere dalam bukunya Megatrend 2000 mengungkapkan bahwa pada abad baru ini seni semakin memasyarakat. Masa ini dikatakan era dasawarsa renaisans seni. Semakin populernya seni dalam kehidupan manusia, maka membuka peluang munculnya wawasan baru tentang kebudayaan, yang pada gilirannya juga berpengaruh pada etos kerja seniman.

Kesenian mestilah lepas dari dampak-dampak perkembangan zaman, dengan tetap meletakkannya pada poros peradaban masyarakat pendukungnya. Tradisi agama dan seni merupakan pokok peradaban yang memiliki komotmen jelas untuk menskenariokan rekadaya mental dan unsur-unsur spiritual manusia dalam menyikapi segala bentuk perkembangan zaman. Ada gerakan yang mesti dapat dikembangkan untuk mengatasi keterpurukan yang ditimbulkan oleh globalisasi dan pasar bebas.

Tantangan haruslah disikapi sebagai momentum peradaban untuk bisa lebih kreatif dan mampu keluar dari kondisi equiliberium. Dalam konsisi demikian --setidaknya di akhir abad ke 20 ini- - mamanda sebagai kesenian rakyat Banjar di Kalimantan Selatan telah menunjukkan visi-visi seperti itu, meskipun belum bisa dikatakan antisipasinya berjalan terencana, terarah, dan terpadu.

Secara jujur, mamanda telah lama melakukan go publik jika dibanding dengan khazanah seni teater – baik tradisional maupun modern – yang juga berkembang diu Kalimantan Selatan. Mungkin hanya mamanda di antara khazanah teater Kalsel yang sudah melakukan lawatan ke berbagai daerah di nusantara, bahkan ke luar negeri tanpa menghilangkan ciri peradaban yang dibawanya. Mamanda sebagai produk kebudayaan lokal di Kalimantan Selatan, yang juga mata rantai peradaban melayu di nusantara memiliki peluang sebagai model sumbu penggerak nilai-nilai yang masih relevan dalam mempertahankan budaya melayu nusantara. Meskipun mamanda mengikuti arus komoditi pasar, tetapi ia tetap mampu bertahan dalam koridor seni rakyat.

Mamanda diyakini tetap mampu berinteraksi dengan zaman modern. Multifungsi yang dimiliki mamanda tetap akan menjadi bagian dari proses penyulingan pemahaman tentang peradaban. Mamanda masih tetap menemukan fungsinya sebagai sarana penghibur masyarakat modern.

Liku-Liku Perjalanan Mamanda

Kalimantan Timur adalah provinsi dengan kondisi sosiobudaya yang memiliki potensi berkembangnya dunia kesenian yang cukup besar. Namun, perkembangan yang terjadi tidak sempat menciptakan akar budaya dalam prinsip-prinsip kesenian, sehingga akar sebuah cabang seni pun tidak terasa dapat memendam di kalangan masyarakat pendukungnya. Kondisi ini diduga disebabkan oleh tipikal budaya kaltim yang bersifat terbuka dengan bentuk-bentuk budaya luar yang bersinggungan, akibatnya bentuk-bentuk yang sudah ada pun sering terpengaruh oleh bentuk-bentuk lain.

Jika diamati bentuk-bentuk teater yang pernah ada atau yang sedang berkembang di Kalimantan seperti wayang gong, wayang orang, bagongan, japin bakisah, dan lain-lain ini menunjukkan animo kreativitas terhadap teater itu pun cukup kuat. Selain sebagai ungkapan ekspresi seni, tentu saja aktivitas berteater disini haruslah diakui sebagai medium pengungkapan visi-visi kehidupan budaya yang bermuatan nasional atau lokal.

Kesejarahan masa lalu di daerah ini tidak bisa dilupakan dari bingkai tradisi berkesenian yang cukup kuat dan mapan dengan akar budaya melayu. Kreativitas masyarakat seni masa lalu dapat memberi arti positif dalam menata monumen kultural para sepuh kebudayaan Banjar masa lalu.

Konon, tradisi berteater dalam wujud kreativitas seni di daerah ini sudah muncul sejak abad kesebelas sampai sekarang dengan kondis jatu bangun. Perkembangan teknologi komunikasi juga ikut berpengaruh terhadap jatuh bangunnya seni tradisi ini. Keadaaan ini melahirkan dikotomi tingat apresiasi masyarakat terhadap kesenian daerah. Pertama, seni daerah bisa hidup bila tidak mendapatkan serangan teknologi hiburan yang menyajikan bentuk-bentuk kesenian modern. Kedua, seni daerah akan ditinggalkan ketika sarana-sarana hiburan lain mampu menjadi tambatan emosi masyarakat.

Sadar akan kondisi psikologi massa demikian, ada pula kelompok pelaku seni yang mulai mencoba merebut kembali emosi masyarakat yang sedang jenuh dengan bentuk-bentuk kesenian modern ini dengan memasukkan garapan-garapan hiburan. Maksudnya, mamanda dalam bentuk seni tradisional ini dikembangkan  dengan garapan baru yang lebih  mampu merebut keterhiburan, ketertarikan, dan keterpesonaan. Hanya saja bagi kelompok generasi muda yang memiliki kebiasaan menggarap teater modern yang tidak memiliki paham tradisi merasakan amat kesulitan mengikuti pola-pola teater mamanda ini. Kesulitan yang dirasakan adalah pelaku mamanda harus dapat menyanyikan lagu raja, tari ladon, serta menabuh musik mamanda.

Kondisi masyarakat seperti di Kaltim nampaknya lebih menguntungkan. Pergelaran mamanda hampir dapat disaksikan pada setiap bulan, setidak-tidaknya pada tayangan TVRI Kalimantan Timur melalui program acara Benua Etam yang tayang setiap hari Rabu. Namun berbeda dengan di Kalimantan Selatan yang konon pergelaran mamanda lebih banyak diminta untuk memeriahkan pesta perkawinan sehingga grup mamanda sering kebanjiran order bermain, di Kaltim apresiasi masyarakat terhadap mamanda masih sangat kurang.

Lakon mamanda terasakan sekali berbeda dari masa ke masa. Kondisi ini lebih banyak disebabkan oleh kondisi zaman yang selalu berubah. Namun, alhamdulillah, menurut Drs. HM. Thaha, sekarang mamanda sudah menjadi tambatan emosi sebagian masyarakat Banjar di perantauan seperti jawa, sumatra bahkan perantau Banjar yang ada di Malaysia dan Brunei Darussalam.

Dari Realitas Tradisi ke Kesenian Populer

Ada tiga hal yang bisa dirujuk apabila teater Mamanda di Kalimantan Selatan ingin dilihat sebagai seni tradisi, yaitu:

·        Mamanda merupakan bagian dari kesenian rakyat yang menyajikan sistem sosial dan sistem budaya etnik Banjar.

·        Mamanda memiliki struktur tetap dari masa ke masa sebagai inspirasi cipta, karsa, dan rasa kesenian rakyat.

·        Mamanda menghadirkan simbol-simbol yang berisi jagat makna dalam menata titik peradaban masyarakat etnik pendukungnya.

Ketiga material ini merupakan tonggak yang senantiasa memiliki tingkat kehadiran substansi tradisi untuk memperkuat posisi masyarakat dalam pengejawatahann jati diri.

Kuatnya budaya melayu dalam memberi warna terhadap lakon mamanda dapat dilihat dari busana, properti, dan bahasa Melayu Banjar yang digunakan. Teater Mamanda mengambil inspirasi cerita dari kisah seribu satu malam yang selalu diramu dan dibumbui dengan unsur-unsur budaya lokal dan luar seperti politik, pembangunan, ekonomi, dan sejarah.

Seiring dengan tuntutan publik yang telah meluas, mamanda juga tidak bisa mengelakkan diri dari desakan budaya masa. Sadar atau tidak, mamanda mengubah citranya dari tradisi menjadi seni tradisional populer. Dari seni yang hanya berakses di masyarakat desa menjadi seniu yang memasuki lingkungan peradaban baru, yaitu masuk dalam wilayah budaya pop. Perubahan ini hanyalah realisasi titik singgung yang sering dikhawatirkan orang tentang menyeruaknya budaya masa yang dapat menghilangkan aura seni. Bagian ini tidak perlu menjadi kekhawatiran asalkan mamanda tetap memelihara unsur-unsur struktur pentas yang elite berkenaan dengan citra dirinya sebagai kesenian etnik.

Jatuh Bangun teater Mamanda

Kesenian rakyat hanya banyak mendapat sanjungan ke sanjungan atas kebolehannya dalam membawa aspek-aspek nostalgia masa lalu seperti balamut, madihin, dundam, mamanda namun sisi lain kehidupan para pelakonnya hampir rat-rata morat-marit. Belum terlalu imbang perhatian para pengayom untuk menghidupi bentuk kesenian rakyat jika dibandingkan dengan bidang lain.

Ada upaya untuk mempopulerkan kesenian mamanda di layar kaca, namun banyaknya bagian yang di-cut menyebabkan teater mamanda ini kehilangan esensinya yang khas. Warna lokalnya kelihatn amat tipis. Demikian juga ciri lawakannya menjadi kaku. Ada beberapa kesulitan yang diakui oleh pihak televisi, ketika ingin menayangkan mamanda dalam struktur yang komplit, yaitu struktur pergelaran yang terlampau memakan waktu.

Keinginan untuk melakukan tour pergelaran mamanda keliling pulau atau sekedar di beberapa kota besar di Indonesia, rencana ini juga sangat terbatas. .

Mamanda dan Konteks Sosio-Budaya

Semula teater mamanda hanya dimiliki oleh masyarakat Periuk dan Tubau di Kabupaten Tapin, Rantau. Namun dari perkembangan selanjutnya, teater tradisi ini mampu menjadi maskot seni pertunjukan rakyat di seluruh wilayah dan pelosok Kalimantan Selatan bahkan hingga k daerah kita Kalimantan Timur. Perkembangan ini terjadi karena diyakini mamanda telah dibawa oleh masyarakat Banjar yang ikut migrasi ke daerah-daerah tersebut.

Bahasa Banjar yang dipakai dalam pergelaran mamanda adalah bahasa kebudayaan yang tentu saja banyak menolong masyarakat untuk dapat menyerap dan memahami unsur-unsur amanat, problematik, dan konflik-konflik cerita serta humor-humor. Rekonstruksi alur yang mudah dipahami semakin memberikan kemudahan kepada masyarakat awam untuk dapat memahami ide-ide cerita yang dibawakan.

Mamanda selalu menyajikan ending kisahan yang memenangkan tokoh-tokoh heroik dan mengalahkan kelompok-kelompok antagonis. Mamanda juga selalu dapat memberikan keterhiburan penonton. Satu hal yang barangkali mamanda mudah tersosialisasikan ke hadapan penonton adalah tokoh-tokoh protagonis dan antagonis tidak memihak kepada peran-peran tertentu saja.

Kisah-kisah yang bersifat carangan atau yang disesuaikan dengan kondisi sehari-hari membuktikan bahwa kisah-kisah mamanda dapat memberikan rangsangan agar penonton masuk dan hanyut dalam rekadaya cerita masa kini.

Untuk memenuhi hajat menghibur penonton yang lebih luas dan beragam, akhirnya mamanda tidak lagi berpikir untuk kepentingan menyetir budaya sendiri ke tengah publik yang bervariasi, tetapi mamanda memiliki fungsi lain yaitu bersifat menghibur. Ini berarti pula mamanda harus mengemas unsur-unsur keterhiburan tersebut dengan menambah kualitas musik, rias dan pemain, tetarian serta kisah-kisah yang unik serta menarik.

Mamanda dan Perkembangan Kultur

Kehadiran mamanda betul-betul telah mengisi bagian yang kosong dari sisi emosi penonton yang selama ini merasa tidak mempunyai pilihan dalam menanti hiburan yang bersifat lawakan. Dari sisi lain, ternyata lawakan-lawakan yang disajikan mamanda tidak terasa memberi ciri bagi perolehan kultur masyarakat Banjar.

Aspek humor yang diangkat dari wadaan ( umpatan) juga memerlukan pemeran-pemeran yang digojlok pada saat permainan. Unsur humor wadaan ini juga memberikan efek humor pada penonton. Yang sering menjadi materi wadaan adalah raut muka, pakaian, suara, ataupun predikat tubuh seperti tinggi, kurus, rendah, gemuk, dan lain-lain. Ciri-ciri ini merupakan subkultur dari kebiasaan masyarakat yang senantiasa menggunjingkan predikat tubuh manusia sebagai bagian dari materi lawakan.

Mamanda ikut membawa kultur demokratis ke dalam cerita-cerita yang dimainkan. Problematika sosial masyarakat yang dimainkan dalam kisah-kisah mamanda. Bagaimana pun mamanda haruslah dipahami sebagai idealisasi praktis sosial dan komunikasi massa yang berfungsi sebagai unsur penata aspek pergaulan masyarakat. Mereka yang menyaksikan mamanda akan mendapatkan pengetahuan praktis bahwa yang salah akan mendapatkan ganjaran dan mereka yang jujur, benar, sabar, pasti akan mendapatkan kebahagiaan.

Mamanda dan Terpaan Budaya Massa

Apa yang dilakukan oleh para pelakon mamanda dewasa ini sebetulnya sadar atau tidak telah melakukan peniruan ddalam kebiasaan yang dilakukan dalam seni pop. Sejak awal tahun 1990-an, mamanda telah muncul dengan warna lain, yakni memepertimbangkan ilmu tontonan. Di sana-sini terjadi kemasan. Semua telah mengalami modifikasi dengan menghubungkan dengan ilmu tontonan.

Kita tidak akan bias melepaskan diri dengan tuntutan kemajuan jaman, namun di lain sisi kita harus tetap mempertahankan kerifan local yang telah ada dan melembaga dalam social budaya kita.

Solusinya adalah dengan membuka ruang bagi pelestarian dan pengembangan seni budaya Mamanda ini ke depan. Pelestarian artinya kita harus member bantuan bagi bertumbuhnya grup kesenian Mamanda yang mempertahankan pakem-pakem mamanda sbegaiamana aslinya. Hal ini seperti yang dilakukan oleh grup KAKAMBAN HABANG.

 Dan sejalan dengan itu kita juga memberikan bantuan bagi berkembangnya seni mamanda modifikasi seperti yang dilakukan oleh FORMAT KAltim dengan MAMANDA JENAKANYA.

Dengan demikian kita bisa melestarikan seni budaya kita tanpa harus ketinggalan dengan kemajuan jaman dan kecanggihan teknologi informasi saat ini.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.