Mamanda dan Sandima di Kalimantan Timur

 


Sebelum bercerita lebih jauh tentang Sandiwara Mamanda Forum Aktualisasi Seni Tradisional Kalimantan Timur (Sandima-FORMAT), ada baiknya kita memahami lebih dahulu perjalanan sejarah Mamanda di Benua Etam Kalimantan Timur, Supaya bisa lebih memahami bagaimana Sandima Terbentuk dan menjadi kesenian yang Khas Samarinda, bukan lagi Kalimantan Selatan.

Mamanda di Kalimantan Timur bukan lagi menjadi seni luar atau seni pendatang. Mamanda, meski secara hisstoris tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan budaya Arab, Melayu dan Banjar namun dalam perkembangannya sudah sejak ratusan tahun lalu menjadi bagian penting dari kebudayaan daerah Kalimantan Timur.

Apalagi jika kita berkaca pada realita bahwa kehidupan sosial budaya masyarakat kita di Kalimantan, dulunya tidaklah dibatasi oleh sekat-sekat administratif seperti sekarang ini. Dulu kita warga Kalimantan adalah satu tanah, satu budaya dan satu karakter yang menyatu dalam dinamika kehidupan tradisi yang kental.

Demikian pula dengan nilai-nilai seni budaya. Bahkan bukan hanya Mamanda, hampir semua jenis seni dan budaya antar etnis kita yang berdiam di bumi Borneo ini memiliki kemiripan atau bahkan sama. Ini bukan dikarenakan adanya yang asli dan yang palsu atau yang memulai dan yang meniru. Ini lebih pada kesamaan sumber inspirasi, pengetahuan dan kondisi sosio-kultural yang sedemikian kuat di tanah Kalimantan.

Untuk seni Mamanda sendiri, di Kalimantan Timur mengalami perkembangan yang panjang. Banyak generasi telah berlalu sejak munculnya seni teater tradisional ini di bumi Mulawarman, yang kemidian beralkulturasi dengan budaya lokal dan membentuk ciri khasnya masing-masing.

Menurut literature yang kami teliti ada beberapa daerah yang mencolok sebagai tempat awalberkembangnya seni mamanda di Kalimantan Timur diantaranya adalah:

1. Samarinda

Daerah Sungai Kapih Samarinda. Di sinilah konon cikal bakal kesenian Mamanda berkembang di Samarinda. Selanjutnya mamanda juga berkembang di daerah-daerah lain seiring bermunculannya grup-grup Mamanda di kota tepian. Hingga akhirnya menjadi lebih "luwes" dan menjadi Sandiwara Mamanda.

Ada grup mamanda Kakamban Habang yang didirikan oleh Almarhum Satar Miskan, lalu ada Sandiwara Mamanda Batu Benawa pimpinan Almarhum Polisi Bastiar, dan beberapa kelompok lain. Hingga yang terakhir dan masih eksis saat ini adalah kelompok Sandiwara Mamanda FORMAT yang dipimpin oleh Elansyah Jamhari.

Untuk grup terakhir ini bisa dibilang sebagai kelompok yang telah melakukan banyak transformasi terhadap seni mamanda. Sehingga istilah Sandima (sandiwara Mamanda) kemudian digemakan lagi dengan dukungan publikasi yang lebih masif serta luas.

Grup Format yang banyak mendapat tawaran bermain di berbagai panggung besar serta layar TV akhirnya menyederhanakan beberapa pakem juga memasukkan unsur-unsur musik maupun cerita yang selama ini tidak ada dalam Mamanda asli.

Apalagi dengan dukungan stasiun TVRI, Sandiwara Mamanda menjadi salah satu kesenian daerah Samarinda yang mampu bertahan puluhan tahun bahkan selalu eksis di layar kaca.

Awalnya atas saran saya selaku penulis naskah-naskah di FORMAT yang tentunya juga banyak menulis naskah Mamanda, jenis mamanda yang dikembangkan oleh FORMAT diberi nama MAMANDA JENAKA. Penggunaan nama JENAKA ini dimaksudkan untuk membedakan mamanda modifikasi ini dengan mamanda asli yang ketat memegang pakem.

Dari segi bahasa, kata JENAKA bisa diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yang bermakna LUCU, maupun dalam arti bahasa KUTAI yang berarti BOHONG. Maksudnya bukan bohong dalam konteks negatif tapi dalam arti BOHONG-BOHONGAN alias PURA-PURAAN atau bukan asli.

Namun semakin kesini, nama Mamanda Jenaka itu mulai kami tinggalkan dan kembali kepada nama yang sudah dibuat oleh para pendahulu kami yakni Sandiwara Mamanda yang kemudian disingkat Sandima. Saya tentu sepakat sekali dengan keputusan ini, hal ini tentu dalam rangka kami menghargai sekaligus melestarikan apa yang sudah dirintis oleh para pendahulu kami.

2. Kabupaten Kutai (Tenggarong)

Sengaja kami menggunakan penyebutan daerah versi lama yakni Kutai yang mencakup Kutai Kartanegara, Kutai Barat, Kutai Timur, Mahakam Ulu dan sekitarnya. Intinya adalah wilayah Kutai yang berpusat di Tenggarong Kutai Katanegara.

Di Kutai mamanda juga tumbuh dan berkembang. Di daerah ini lebih dikenal dengan istilah ‘MANDA” yang mengikuti penyebutan lidah orang Kutai. Tidak diketahui secara pasti sejak apan Mamanda atau Manda berkembang di Kutai, namun yang jelas sejak tahun 1927 mamanda sudah banyak dipentaskan di daerah ini.

Di daerah Kutai ini juga ada kesenian yang dikenal dengan nama Pasemanan Aji, yakni jenis kesenian seperti Mamanda yang kebanyakan dimainkan dan dipentaskan di kalangan istana (bangsawan).

3. Daerah Paser

Daerah paser masa lalu adalah mencakup Kabupaten Paser dan Kabupaten Penajam Paser Utara saat ini. Di daerah ini seni yang sangat mirip dengan Mamanda dikenal dengan sebutan BENALAU. Jadi meski tidak disebut dengan Mamanda atau tidak terdapat suku kata yang mendekati kata MANDA sebagaimana di daerah Kutai tadi, kami menganggap bahwa seni BENALAU ini bisa dibilang varian dari seni tetater melayu yang merupakan cikal bakal Mamanda juga.

4. Daerah Berau

Mamanda di Berau hampir sama dengan di Samarinda yakni berkembang secara alami dan menyatu dengan kehidupan tradisi masyarakatnya.

Dan dikarenakan ia menyatu dengan budaya setempat, maka seni ini telah mengalami modifikasi meski hanya dari segi irama musik yang digunakan sebagai pengiring kesenian ini. Selebihnya dari segi tata panggung, cerita dan pakem lainnya hampir tidak ada bedanya.

5. Bulungan (daerah Utara)

Di daerah bulungan dan sekitarnya kesenian tradisional mamanda juga berkembang alami mengikuti sosial budaya masyarakat setempat. Terlebih dengan banyaknya suku-suku yang berlatar Melayu dan yang memeluk agama Islam, seni teater tradisional Mamanda tumbuh dan berkembang di masa lalu dengan baik.

Pertunjukan mamanda di masa lalu merupakan salah satu pertinjukan yang sangat dinanti-nanti oleh masyarakat. Apalagi saat itu masih belum ada alternatif hiburan lain seperti TV dan Radio, maka kesenian Mamanda tetap diminati masyarakat.

Mamanda masuk ke Kalimantan Tmur sejalan dengan masuknya agama Islam ke daerah ini. Demikian pula dengan hubungan kedaerahan yang kental terutama dari suku Banjar di Kalimantan Selatan yang memiliki ikatan kekerabatan dengan orang-orang Kalimantan Timur. Sejalan dengan migrasi baik secara perorangan maupun kelompok warga Banjar ke daerah ini.

Apalagi pada masa perjuangan dahulu, kerjasama antara warga Boeneo (Kalimantan) terutama antara orang-orang Banjar dengan masyarakat Kalimantan Timur menyebabkan makin banyaknya warga Banjar yang berpindah ke Samarinda hingga ke daerah-daerah terpencil di Hulu Mahakam.

Keberadaan kampung Muara Muntai, Jantur dan beberapa kampung yang mayoritas dihuni oleh masyarakat asal Banjar membuktikan bahwa masuknya orang Banjar ke Kaltim dan menyebarnya budaya mereka di daerah ini telah berlangsung ratusan tahun silam.

Samarinda sendiri meski menurut sejarahnya didirikan pertama kali oleh orang Bugis, namun mereka memulainya (dan berkembang) di daerah Samarinda Seberang. Adapun untuk daerah Samarinda Kota saat ini, tak bisa dipungkiri bahwa Samarinda kota lebih identik dengan suku Banjar/Kutai. Hal ini ditunjukkan dengan berkembangnya bahasa Banjar/Kutai sebagai bahasa keseharian warga Samarinda.

Kami tidak bermaksud menggugat sejarah. Dan memang tidak dipungkiri bahwa asal muasal Samarinda adalah bermula dari kedatang orang-orang Bugis. Namun kami juga ingin menyampaikan kenyataan bahwa Samarinda kota secara sosial budaya lebih didominasi oleh budaya Banjar/Kutai. Makanya tak heran jika segi bahasa dan kesenian  lebih banyak diwarnai oleh seni budaya melayu yang masuk melalui orang-orang Banjar.

Saya sendiri meski berdarah Dayak, saat telah bermukim di Samarinda lebih sering menggunakan bahasa Banjar/Kutai dalam berkomunikasi. Uniknya tak jarang kami yang sama-sama bukan orang Banjar/Kutai namun ketika telah di Samarinda spontan berbicara dalam bahasa Banjar/Kutai  Samarinda.

Saat menjadi Wakil Walikota Samarinda mendampingi ayahanda Achmad Amin saya masih ingat bagaimana pak Amins yang suku Bugis ngobrol dengan KH. Zaini Na’im yang berdarah Madura, justeru menggunakan bahasa Banjar. Hal ini beberapa kali ditegaskan sendiri oleh pak Achmad Amins dalam pidato beliau.

Kesenian Banjar, Kutai, Bugis dan Melayu kini sudah menyatu dan berasimilasi membentuk kesenian Samarinda,  Kalimantan Timur. Ditambah dengan unsur-unsur budaya asli Dayak, Malinau, Tidung, Berau dan beberapa daerah lain, bahkan suku luar Kalimantan, semakin memperkaya khasanah kesenian dan kebudayaan Kalimantan Timur.

Ini tentu akan semakin membuat karakter bangsa, khususnya masyarakat Kalimanan Timur semakin maju dan meningkat baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Pilihan jenis seni dan budaya yang ada tentu saja menjadi pemersatu nilai-nilai kebangsaan dan mempertegas karakter dan kearifan lokal.

Hal ini patut untuk kita syukuri sebagai warga masyarakat Kalimantan Timur yang selalu terbuka dengan masuknya budaya luar asalkan busdaya tersebut tidak bertentangan dengan falsafah Negara kita Pancasila dan nilai kearifan lokal yang telah dipegang oleh masyaakat kita.  

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.